Demokrasi Ala Desa, Muncul Desakan Pencopotan Kepala Desa Sebelum Berakhirnya Masa Jabatan, Kenapa ?

Ditulis oleh: Dr. Herman, SE.,MM
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pakuan
Pemerhati Wilayah Pedesaan
Titikspasi.com – Desa adalah kesatuan masyarakat hukum terkecil yang memiliki wilayah, batas, dan otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan adat istiadat dan hukum yang berlaku. Secara umum, desa dicirikan oleh kepadatan penduduk rendah, ketergantungan pada alam (terutama agraris), interaksi sosial yang personal dan solidaritas tinggi, serta mobilitas masyarakat yang cenderung rendah.
Desa merupakan unit terkecil dari negara yang terdekat dengan masyarakat dan secara riil langsung menyentuh kebutuhan masyarakat untuk disejahterakan. Basis sistem kemasyarakatan di desa yang kokoh adalah kekuatan untuk mengembangkan sistem politik, sosial, budaya, dan ekonomi. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, hendak mengantarkan desa sebagai penyangga kehidupan. Desa diharapkan menjadi mandiri secara sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik. Pada PP Nomor 43 Tahun 2014 yang diubah melalui PP Nomor 47 Tahun 2015 menyebutkan desa mempunyai wewenang untuk mengatur sumber daya dan arah pembangunan. Berlakunya regulasi tentang desa membuka harapan bagi masyarakat desa untuk berubah. Desa memasuki era self governing community di mana Desa memiliki otonomi dan kewenangan dalam perencanaan, pelayanan publik, dan keuangan. Maka desa bukan lagi penunggu instruksi dari supra desa (Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, dan Pusat). Untuk itu tumpuan dinamika kehidupan desa sangat bergantung pada pastisipasi masyarakat dalam mendorong terbangunnya kesepakatan pengelolaan desa, mampu menumbuhkan dan mengembangkan nilai sosial, budaya, ekonomi, dan pengetahuan.
Desa merupakan agen pemerintah terdepan yang dapat menjangkau kelompok sasaran riil yang akan disejahterakan. Pembangunan desa dapat ditingkatkan melalui pengembangan potensi perekonomian desa dan menjadi wadah bersama masyarakat pedesaan dalam membangun diri dan lingkungannya secara mandiri dan partisipatif. Dalam UU Desa disebutkan bahwa pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan, dengan mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan perdamaian dan keadilan sosial.
Dalam melaksanakan aktivitas dan penyelenggaran pemerintahannya Desa dipimpin oleh seorang kepala desa. Kepala Desa di pilih oleh masyarakat langsung warga desa tersebut. Pengaturan tentang pemilihan Kepala Desa (Pilkades) diatur dalam Undang Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa).
Pengertian Pilkades
Dalam UU Desa dan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaanya tidak terdapat istilah dan pengertian Pilkades dalam Bab ketentuan Umum. Pengertian istilah Pilkades akan dijumpai dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa yang telah dirubah beberapa kali, terakhir dengan Permendagri Nomor 72 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa. Permendagri dimaksud pada pasal 1 angka 5. Menyebutkan:
“Pemilihan kepala desa adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di desa dalam rangka memilih kepala desa yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”
Pasal 18 B ayat dua terdapat ketentuan sebagai berikut:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pelaksanaan pemilihan kepala desa dilaksanakan secara demokratis dan setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih sebagai kepala desa. Menjadi orang nomor 1 di wilayah desa menjadi daya tarik tersendiri, memiliki kedudukan yang tinggi di hormati warga dan memiliki kewenangan, menjadikan jabatan kepala desa banyak diperebutkan oleh banyak pihak. Persaingan untuk menjadi kepala desa sangat nampak pada saat pilkades. Bahkan dalam berbagai kasus ditemukan cara-cara inkonstitusional seperti “serangan fajar” atau money politic, bahkan persaingan antar calon pasangan berlanjut sampai selesainya masa pilkades. Terkadang timbul adanya keinginan dari masyarakat atau pihak tertentu untuk memberhentikan kepala desa sebelum berakhirnya masa jabatan kepala desa.
Proses pemberhentian kepala desa oleh masyarakat harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku, karena masyarakat tidak bisa langsung memberhentikan kepala desa begitu saja. Mekanismenya melibatkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan bupati/wali kota, yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan perubahannya, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 82 Tahun 2015 jo. Permendagri Nomor 66 Tahun 2017.
Berikut adalah langkah-langkah dan alasan yang mendasari proses pemberhentian kepala desa.
Alasan pemberhentian kepala desa
Masyarakat dapat mengusulkan pemberhentian kepala desa melalui BPD jika kepala desa dianggap memenuhi salah satu kriteria berikut:
- Tidak melaksanakan kewajiban: Kepala desa tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.
- Melanggar larangan: Kepala desa melakukan perbuatan yang dilarang, seperti menyalahgunakan wewenang, korupsi, atau perbuatan yang meresahkan masyarakat.
- Dinyatakan sebagai terpidana: Kepala desa ditetapkan sebagai terpidana dengan hukuman penjara minimal 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
- Tidak memenuhi syarat sebagai kepala desa: Misalnya, tidak lagi berdomisili di desa setempat.
Tahapan proses pemberhentian
- Pengaduan masyarakat: Masyarakat yang merasa keberatan dengan kinerja atau perilaku kepala desa harus membuat pengaduan resmi kepada BPD. Pengaduan ini harus dilengkapi dengan bukti-bukti yang jelas untuk mendukung argumennya.
- Verifikasi dan musyawarah BPD:
- BPD menerima pengaduan masyarakat, melakukan verifikasi terhadap kebenaran aduan tersebut, dan mengadakan musyawarah untuk membahas masalah yang terjadi.
- Musyawarah ini akan mempertimbangkan bukti-bukti yang disampaikan dan memeriksa apakah kepala desa telah melanggar kewajiban atau larangan.
- Laporan BPD kepada bupati/wali kota:
- Jika hasil musyawarah BPD menyimpulkan bahwa kepala desa memang melanggar ketentuan, BPD akan melaporkannya kepada bupati/wali kota melalui camat.
- Laporan ini harus memuat materi kasus yang dialami oleh kepala desa tersebut.
- Tinjauan dan tindakan bupati/wali kota:
- Bupati/wali kota, setelah menerima laporan, akan melakukan kajian terhadap laporan tersebut.
- Jika ditemukan pelanggaran, bupati/wali kota dapat memberikan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, hingga pemberhentian sementara.
- Pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap:
- Jika kepala desa tetap tidak merespons atau mengindahkan teguran, bupati/wali kota dapat memberhentikan sementara.
- Apabila pelanggaran terus terjadi, atau jika kepala desa telah menjadi terpidana, bupati/wali kota akan menerbitkan surat keputusan pemberhentian secara tetap.
Penting untuk diperhatikan, meskipun aspirasi masyarakat adalah pemicu awal, masyarakat tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan kepala desa secara langsung. Prosesnya harus melalui BPD sebagai perwakilan rakyat desa dan diputuskan oleh bupati/wali kota sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Berdasarkan penjelasan di atas sangat jelas bahwa dalam memberhentikan kepala desa sebelum berakhirnya masa jabatan ada tata cara dan mekanisme yang harus dilalui, bukan dengan intimidasi, paksaan apalagi ancaman dari individu maupun kelompok apalagi dengan mengatasnamakan masyarakat tertentu.
Sebagai negara demokrasi setiap warganegara berhak menyampaikan pendapat ataupun aspirasinya, namun tentu saja ada tata cara nya yang telah diatur oleh Undang-Undang.
Sebagai bagian dari kehidupan berdemokrasi semestinya setiap masyarakat harus sadar siapapun yang akan menjadi pemimpin maka jadilah pemimpin untuk masyarakat bukan mengutamakan kepentingan pribadi, golongan atau kelompok tertentu, seorang pemimpin tidak lagi membeda-bedakan kepentingan kelompok pendukungnya atau kelompok bukan pendukungnya, seorang pemimpin harus mengemban amanah dari masyarakat yang telah memilih dan mempercayakannya. Demikian juga sebagai masyarakat, seluruh elemen masyarakat harus berbesar hati ketika “jagoannya” kalah dalam pilkades, seluruh elemen masyarakat harus bahu membahu mementingkan kepentingan seluruh masyarakat daripada kepentingan pribadi atau kelompoknya. Kesejahteraan masyarakat desa sebagaimana tercantum dalam cita-cita Undang-Undang menjadi tugas bersama-sama seluruh elemen. Jika masyarakat desa sejahtera maka Indonesia juga akan sejahtera, karena kehidupan masyarakat desa adalah kehidupan bangsa Indonesia. Semoga cita-cita luhur pendiri bangsa ini terwujud dimulai dari kehidupan di desa.