Politik

PKS Kuat di Dua Aspek, Sebagai Partai yang Tulus dan Dipercaya

Dr C Aza El Munadiyan S.Si MM AMIPR (Dosen/Praktisi Digital Marketing)

Titikspasi.com – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) baru saja mengumumkan jajaran lengkap Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) se-Indonesia periode 2025-2023. Struktur ini tampak rapi, terencana, dan menunjukkan kesinambungan kaderisasi yang telah lama menjadi ciri khas partai berbasis ideologis ini. PKS, sekali lagi, membuktikan dirinya sebagai partai yang tidak hanya solid secara internal, tapi juga tahan banting di luar kekuasaan. Namun di tengah euforia penguatan mesin partai ini, muncul pertanyaan krusial yang patut diajukan yaitu seberapa relevan brand personality PKS hari ini, dalam lanskap politik yang semakin cair, cepat, dan digerakkan oleh emosi serta citra digital?

Citra Bersih, Tapi Belum Menyala

Kerangka brand personality ala Jennifer Aaker, terdapat lima dimensi utama yang bisa digunakan untuk membaca karakter sebuah merek atau dalam hal ini, partai politik yaitu sincerity, competence, excitement, sophistication, dan ruggedness. Dari semua dimensi itu, PKS sangat kuat di dua aspek pertama sebagai partai yang tulus dan dipercaya. PKS konsisten menyuarakan nilai-nilai keumatan, disiplin organisasi, dan dikenal relatif bersih dari skandal korupsi. Tidak mengherankan jika dalam survei Indikator Politik Indonesia (2023), PKS masuk tiga besar partai yang dianggap paling jujur dan peduli terhadap rakyat kecil. Figur-figur seperti Ahmad Syaikhu, Hidayat Nur Wahid, hingga Mardani Ali Sera menjadi simbol intelektualitas partai ini.

Namun, justru di era ketika emosi dan likeability menjadi mata uang utama politik, dua dimensi penting dalam brand personality PKS tampak lemah dalam excitement dan sophistication. PKS tidak dikenal sebagai partai yang menghibur, berani tampil beda, atau punya figur flamboyan yang karismatik secara emosional. Survei SMRC tahun 2023, PKS memiliki nilai tinggi dalam persepsi jujur dan religius, namun rendah dalam hal menarik dan menginspirasi. Hasil ini menjelaskan mengapa suara PKS cenderung stagnan: 8,21% (2019) ke 8,42% (2024). Konsisten, tapi tak meledak. Dipercaya, tapi belum tentu disukai. PKS hadir sebagai guru yang bijak dan disiplin, tapi bukan idola yang memikat dan menyenangkan.

Struktur Kuat, Aura Lesu

Pengumuman struktur DPP dan DPW PKS di seluruh Indonesia merepresentasikan kekuatan manajemen organisasi dan kaderisasi. Tapi di zaman ketika politik berjalan di atas panggung TikTok dan meme, struktur bukan segalanya. Diperlukan aura semacam daya tarik emosional dan visual yang membuat pemilih merasa dekat, terlibat, bahkan ingin membela. Aura ini tidak bisa dibentuk dengan hanya menyebut dakwah politik atau amar ma’ruf nahi munkar saja. Diperlukan narasi yang membumi, bahasa yang renyah, dan simbol yang menyentuh. PKS memang sudah mengganti warna dari merah-marun ke oranye langkah yang cukup simbolik. Tapi secara substansi, partai ini belum sungguh-sungguh masuk ke medan pertarungan persepsi publik yang bergerak sangat cepat.

Contoh sederhana ketika seorang elite PKS bisa viral dengan komentar cerdas dalam suatu isu politik, tapi gaungnya tenggelam kurang dari 24 jam akibat dari lemahnya narasi digital komprehensif yang sustain. Bahkan akun-akun official PKS muda yang digerakkan generasi milenial dan Gen Z masih kalah gaung dibanding konten TikTok aktivis mahasiswa atau selebgram politik. Di sinilah ironi itu terasa tajam. PKS sudah punya mesin. Tapi mesin saja tak bisa menggerakkan hati pemilih yang sedang jatuh cinta pada retorika dan representasi.

 Bergerak Dari Mesin Menuju Magnet

Jika ingin benar-benar tumbuh secara elektoral, PKS harus menyadari bahwa politik bukan hanya soal siapa yang paling benar, tetapi siapa yang paling bisa menggerakkan rasa. Rakyat tidak memilih angka, tetapi wajah. Bukan memilih dokumen program, tapi simbol kepercayaan diri dan keterpautan emosi. Beberapa langkah yang bisa ditempuh PKS diantaranya pertama, membuka ruang komunikasi yang lebih pop dan emosional. Dakwah politik tetap penting, tapi harus dibungkus dengan bahasa yang lebih ringan, memes-friendly, dan komunikatif. Kedua, membangun figur yang bisa jadi ikon digital. Sosok seperti Mardani, Netty Prasetiyani, dr Gamal, Ismail Bakhtiar, M. Kholid, Habib Idrus dan tokoh muda lainnya bisa diolah bukan hanya sebagai intelektual, tapi juga sebagai representasi kehangatan, humor, dan harapan publik. Ketiga, rekayasa narasi melalui visual dan kultur digital. PKS butuh masuk ke ruang TikTok, Reels, dan YouTube Shorts secara strategis, bukan hanya formal. Tidak semua partai mampu menguasai dunia digital tanpa kehilangan nilai, dan PKS punya potensi itu. Keempat, PKS merancang kampanye yang inspiratif, bukan hanya normatif. Masalah keadilan ekonomi, perubahan iklim, dan digitalisasi bisa dibawa dengan cara yang menyentuh, bukan menggurui. Terakhir, PKS harus merevisi gaya bahasa. Singkirkan narasi birokratis yang berat. Mulailah bicara seperti rakyat bicara.

PKS adalah partai dengan mesin yang paling tertata, kaderisasi yang paling terukur, dan narasi ideologis yang paling konsisten. Tapi politik modern menuntut lebih dari sekadar mesin. Ia menuntut magnet sesuatu yang bukan hanya bergerak, tetapi juga menarik. Jika PKS mampu menyeimbangkan antara ketulusan dan daya pikat, antara kompetensi dan keberanian tampil berbeda, maka bukan mustahil partai ini bisa melesat lebih jauh dalam peta kekuasaan nasional. Pemenang politik masa kini adalah siapa saja yang memenangkan hati pemilih bukan hanya partai yang benar, tapi yang mampu membuat pemilih merasa memiliki dan terlibat.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button