Headline

Pengangguran Semakin Meningkat, Akademisi Katakan Bonus Demografi Bisa Jadi Bencana Demografi

Jakarta, Titikspasi – Ketua Kadin Arsjad Rasjid menyebutkan bahwa masalah ketenagakerjaan juga dinilai rapuh. Meski tingkat pengangguran terbuka turun, jumlah pengangguran justru masih tinggi di angka 7,28 juta orang.

Dilansir dari detikfinance faktanya adalah 60 persen angkatan kerja kita masih bekerja disektor informal.

Wakil Ketua 3 Bidang Kemahasiswaan STIM Budi Bakti sekaligus pengamat ekonomi, Dr C Aza El Munadiyan S.Si MM mengatakan bahwa Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini stagnan sekitar 4,7 persen.

“Tanpa penciptaan lapangan kerja berkualitas dan peningkatan produktivitas, hanya akan memperlebar kesenjangan ketimpangan. Realitas bahwa lebih dari 60 persen tenaga kerja berada di sektor informal, dan daya beli masyarakat yang terus menurun, menunjukkan bahwa efek tetesan dari pertumbuhan ekonomi tidak terjadi,” kata Dr Aza sapaan akrabnya.

“Poin penting lainnya menyangkut investasi padat modal. Ini ironis. Investasi telah meningkat secara nominal, tetapi tidak berdampak pada penciptaan lapangan kerja. Ini berarti strategi industrialisasi kita terlalu bergantung pada modal dan teknologi tinggi tanpa kaitan yang kuat dengan penyerapan tenaga kerja lokal,” tukas Dr Aza.

“Kita perlu mengalihkan fokus kita ke investasi padat karya dan inklusif, terutama di sektor manufaktur bernilai tambah dan pertanian modern yang dapat menyerap tenaga kerja yang lebih luas,” sambungnya.

“Bonus demografi bukanlah jaminan otomatis keuntungan ekonomi. Bonus demografi bisa menjadi “bencana demografi” jika negara gagal menyediakan lapangan kerja dan tenaga kerja berkualitas,” ujar Dr Aza.

“Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara yang gagal memanfaatkan bonus demografi mengalami keresahan sosial, kejahatan, dan penurunan kualitas hidup akibat tenaga kerja yang tidak terserap,” tandas Dr Aza.

Solusi dari tokoh pendidikan Kabupaten Bogor ini adalah negara harus membuat lompatan besar dalam kualitas pendidikan.

“Tanpa revolusi dalam pendidikan dan pelatihan vokasi yang memenuhi kebutuhan industri masa depan, kita akan menghasilkan tenaga kerja yang tidak kompatibel dengan pasar,” imbuhnya.

“Negara ini harus mendorong hilirisasi dan reindustrialisasi di luar Jawa, dengan melibatkan UMKM sebagai mitra rantai pasok, bukan sekadar penonton. Inilah jalan menuju pertumbuhan inklusif. Pada akhirnya, transisi energi seharusnya tidak hanya menjadi proyek elit, tetapi juga peluang untuk memberdayakan masyarakat melalui pelatihan keterampilan dan pekerjaan ramah lingkungan. Jika dikelola dengan baik, ini dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi jangka panjang,” pungkas Dr Aza.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button